Anak Nomor Satu

27 12 2007

im000369.jpg Bismilllahirrahmaanirrahiim.
Semesteran baru saja berlalu. Anak-anak yang duduk di bangku sekolah kembali dievaluasi kemampuan akademiknya selama 1 semester. Sebentar lagi hasilnya akan dibagikan. Biasanya ini yang ditunggu-tunggu oleh mereka.
Saya perhatikan, berbeda sekali cara Luqman, anak sulung saya, menghadapi semesteran ini, dengan cara saya 26 tahun yang lalu. Dia terlihat santai dan tidak perduli. Entahlah, sepertinya dia belum terlalu paham arti semesteran itu. Bagaimana efeknya kalau dia belajar sungguh-sungguh dan bagaimana jika tidak. Dan saya memang tidak pernah memaksa bahwa dia harus jadi yang terbaik. Saya tidak ingin tekanan-tekanan yang saya rasa dahulu terjadi padanya. Walaupun begitu, saya juga tidak mau terlalu cuek. Saya tetap memotivasinya untuk belajar. Bagaimanapun nilai akademik juga diperlukan.
Dulu saya tertekan, ini memang harus saya akui. Tapi bukan orang tua yang menekan. Bahkan ibu dan bapak saya terkesan cuek, saya mau belajar atau tidak. Lingkungan lah yang menekan saya. Ada seorang saudara saya yang dulu begitu mengagung-agungkan ’ranking’ di kelas. Dia selalu memuji anaknya yang sekolah di sekolah favorit dan agak memojokkan saya karena bersekolah di SD kampung.
 
Mungkin orang-orang tua itu tidak tahu bahwa di dalam hati saya bergejolak.
Saya berazam dalam hati, saya harus juara. Alhamdulillah, itu benar-benar bisa saya capai. Saat di bangku SD, saya selalu menduduki peringkat 1 atau 2. Saya memacu diri saya sendiri. Ketika akan lulus, saya berusaha keras agar bisa diterima di SMP nomor 1 di Balikpapan. Alhamdulillah, jalannya mulus. Demikian juga ketika akan masuk SMA, saya merasa harus masuk ke SMA 1. Alhamdulillah, tetap bisa masuk. Begitu lulus saya melanjutkan di Politeknik. Waktu itu saya paksakan diri untuk jadi yang terbaik disana. Atas kehendak-Nya, itu bisa saya wujudkan. Ketika ada sebuah kesempatan bersekolah ke Australia, saya lagi-lagi berusaha dengan sangat keras untuk mendapatkannya. Disana saya juga kembali belajar dengan gigih  untuk menjadi yang terbaik. Bahkan saya memaksa (atau menyiksa?) diri saya dengan tidak tidur semalaman, demi melahap diktat-diktat tebal. Berkat perjuangan berat, saya benar-benar bisa meraihnya. (Saya berlindung kepada Allah atas segala kesombongan. Karena bukan untuk alasan itu tulisan ini saya publikasikan. Saya hanya ingin mengungkap adanya sebuah kelemahan pada apa yang sudah terjadi dahulu.)
Untuk apa saya melakukan itu? Untuk mendapatkan sebuah pengakuan… dari saudara-saudara saya…. bahwa saya hebat. Dan saya dapatkan itu. Banyak saudara-saudara yang akhirnya bilang… wah Nina hebat ya…..
Namun di ujung semua itu, saya stuck… rasanya lelah sekali. Memaksa otak dan tubuh saya bekerja, demi sebuah pengakuan, benar-benar melelahkan. Sangat melelahkan. Begitu sampai Indo, saya langsung memutuskan untuk berhenti belajar, ”cape” saya bilang waktu itu. Apalagi saya langsung diterima di perusahaan tambang dan bekerja di sebuah mine site yang sepi. Keinginan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi benar-benar lenyap. Saya jadi anti belajar.
Saya sangat menikmati pekerjaan, menikah, kemudian punya anak. Namun akhirnya berhenti juga. Tentang ini saya akan menuliskannya di waktu yang lain
Setelah pindah ke Lombok dan bertemu banyak orang yang giat belajar meskipun sudah tua, tiba-tiba saya ingin belajar lagi. Tetapi belum ada kesempatan. Saya sungguh-sungguh menyesal telah merasa cape untuk belajar dan merasa terlambat untuk memulainya lagi. Tapi, ya… inilah jalan hidup. Kata orang tua, tidak ada kata terlambat.
Berkaca dari pengalaman hidup itulah saya jadi berhati-hati dalam memotivasi anak-anak ketika belajar. Saya sangat khawatir tekanan itu terjadi pada mereka, hingga akhirnya mereka punya motivasi yang salah dalam belajar, dan pada akhirnya harus merasa lelah.
Begitupun ketika si sulung sudah mulai sekolah. Saya tidak tekankan ranking padanya. Alhamdulillah, di SDIT ranking tersebut tidak diterapkan. Sebagaimana yang pernah disampaikan Ust. Faudzil Adhim, penetapan rangking itu bukan cara yang baik dalam mendidik anak.
Saya juga sangat risih ketika ibu-ibu sudah berkumpul dan saling membangga-banggakan kehebatan anak-anaknya tanpa mengingat pencipta-Nya. Seakan-akan mereka ingin berkata, ’Ini nih anakku paling nomor satu.” Dan dibalik itu semua, mereka harus menekan anaknya agar benar-benar menjadi nomor satu. Sampai ada salah satu siswa sempoa saya yang menangis setelah ujian. Ketika saya tanya kenapa, katanya, ”Saya takut pulang. Nanti dimarah mama, karena gak dapat juara 1”. Masya Allah.
Please deh…. Jangan ada Nina-nina yang lain.
Semoga bisa menjadi ibrah bagi yang lain.