[Sharing] Membiasakan Anak Puasa, Antara Kasihan dan Kasih Sayang

11 08 2010

Ini sesungguhnya cerita tentang Syamil, anak kedua kami yang saat ini berusia 5,5 tahun. Saya menuliskannya untuk berbagi cerita kepada orangtua yang bermaksud membiasakan ibadah puasa pada anaknya yang masih kecil.

Ramadhan tahun lalu rencananya ingin melatih Syamil puasa dengan menawarkan padanya puasa setengah hari (berbuka pukul 12.00) sebagaimana yang dia lakukan tahun sebelumnya. Rencana itu berubah ketika mendengar cerita Kepala Sekolah TKIT tempat Syamil bersekolah, tentang salah seorang anak didiknya yang berpuasa penuh satu bulan. Ah, masa sih bisa?  Berundinglah kemudian saya dan suami, dengan satu keputusan: Ya, mari kita coba.

Sehari menjelang puasa Ramadhan, diadakan diskusi kecil-kecilan dengan Syamil. Berbeda dengan saat sang kakak yang memulai puasa ketika usia 6 tahun, terselip rasa penasaran di hati kami. Mampukah Syamil yang saat itu masih berusia 4,5 th berpuasa penuh? Luqman, sang kakak tak begitu mengalami kesulitan karena dia adalah anak yang agak sulit makan. Puasa menyenangkan baginya kecuali harus menahan rasa haus. Tapi Syamil? Bangun tidur minta makan, siang sedikit minta makan, berturut-turut tiap tiga jam berikutnya dia akan berteriak: “Mi….. Abang mau makan..” Ketika dia bilang akan puasa sampai maghrib, sesungguhnya saya dan suami tidak terlalu yakin dia mampu melakukannya.

Saat sahur pertama di Bulan Ramadhan, untuk membangunkannya perlu diputarkan film di komputer. Sahur sambil menonton. Break sebentar untuk shalat shubuh, setelah itu menonton lagi hingga pagi. Ketika jarum jam mendekati pukul 10.00 mulai ada rengekan pertama. “Mi, abang mau makan.” “Sabar ya bang, tunggu sampai azan maghrib ya.””Abang mau makan sekarang.” “Sebentar lagi Nak ya.” “Haaaaaa” dan Syamil mulai menangis. Lalu mengalirlah cerita tentang Ar Royyan yang didengarkannya penuh konsentrasi. “Abang mau kan dapat kunci Ar Royyan?” “Mau, tapi abang sekarang mau makan.” Tak tahu lagi harus berkata apa, kecuali memeluknya yang sedang berbaring di tempat tidur. Setelah dipijat beberapa lama, Syamil yang memang belum tidur sejak sahur akhirnya tertidur. Kasihan…Tidurnya menjadi penawar rasa laparnya.

Rengekan tak berhenti sampai disitu. Terbangun pukul 12.00 dia kembali meminta makan setelah shalat dzuhur. Saya hanya bisa mengingatkan kembali tentang Ar Royyan sambil memeluknya sampai akhirnya dia tertidur lagi dan terjaga saat pukul 15.00. Rengekannya semakin kencang, bahkan sudah berganti dengan tangisan. Saya coba membujuknya dengan menawarkannya bermain komputer. Dia mau, tapi tak lama dan kembali merengek hingga abinya pulang kerja. Alhamdulillah, mendapat bantuan. Dengan telaten sang abi membujuknya untuk mandi supaya tidak lemes lagi. Setelahnya, dia diajak berkeliling sambil mencari menu berbuka yang sesuai dengan seleranya, hingga waktu berbuka hampir tiba. Sukses di hari pertama. Bahagia sekali melihat dia bisa melewati hari pertama. Hari yang berat bagi Syamil, dan kami tentunya. Dan ini berlangsung hingga tiga hari. Berbagai upaya dilakukan untuk mengalihkan keinginan makannya.

Ketika tiba saatnya harus masuk sekolah, timbul kekhawatiran bahwa dia akan makan di sekolah. Tapi kekhawatiran itu sirna, melihat betapa sekolah sangat bekerja sama untuk melatih anak didiknya berpuasa (sungguh bersyukur bisa menempatkan Syamil di lingkungan sekolah seperti ini). Jika ada anak yang ingin minum, diarahkan untuk minum di luar, sehingga tidak menggoda anak lain yang berpuasa. Syamil kembali merengek ketika sampai di rumah. Tapi syukurnya rengekan itu berhenti pada hari ke tujuh. Ya, hari ke tujuh Syamil sudah berpuasa layaknya orang dewasa puasa. Subhanallah, ternyata butuh waktu sepekan untuk membiasakannya berpuasa. Tapi ternyata bisa..

Syukur kepada Allah tiada hentinya kami panjatkan di penghujung Ramadhan. Yang paling membahagiakan pada Ramadhan tahun lalu adalah bahwa Syamil bisa puasa penuh selama satu bulan. Hal yang tak pernah kami duga sebelumnya. Bagaimana mungkin anak yang gemar sekali makan bisa  berpuasa hingga sebulan penuh. Alhamdulillah segala kekhawatiran seperti jatuh sakit atau kekurangan gizi tidak terbukti. Syamil tampak sehat-sehat saja. Jadi teringat kata-kata seorang ustadz, “Mengapa kita takut anak kita kurang gizi, mengapa kita tak takut anak kita kurang akhlaknya?”. Setuju sekali dengan kata-kata ustadz tersebut. Allah tak mungkin mencelakakan hamba-Nya melalui syariat-Nya.

Pastilah sebagai orang tua, kami kasihan melihatnya merengek karena lapar, tapi kami akan lebih kasihan jika hingga dewasa dia tak bisa menjalankan kewajiban puasa ini. Melihat nafsu makannya yang tinggi, ada kekhawatiran dia akan sulit mengendalikannya hingga dewasa. Puasa menjadi sarananya untuk berlatih.

———————–

Banyak pertanyaan dan pertanyaan yang terlontar (tersurat maupun tersirat) dari beberapa orang terkait dengan puasa bagi anak kecil.

“Umur berapa sih harusnya anak diajarkan puasa?”

“Ah, masih terlalu kecil, gak usah disuruh puasa lah, apalagi sampai maghrib.”

“Orangtuanya terlalu memaksakan kehendak.”

Setiap orang tua boleh memiliki prinsip yang berbeda dengan orangtua lain. Kami memilih untuk mengajarkan ibadah sedini mungkin, agar ketika ibadah itu menjadi wajib, mereka tak perlu bersusah payah lagi melatih diri

Wallahu a’alam bi shawab. Semoga Allah melindungi kita dari segala hal yang buruk.